Oleh : Nazmy Musyaffa
Krisis moneter 1998 memberi pelajaran penting tentang kekuatan ekonomi Indonesia, terutama dalam hal pengelolaan moneter dan sistem keuangan. Selama krisis melanda, nilai tukar rupiah Indonesia menurun drastis, inflasi melonjak, dan sejumlah bank besar runtuh karena tidak dapat mengendalikan utang luar negeri mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengelola sistem keuangan dan kebijakan moneter dapat menyebabkan krisis, yang berdampak luas pada sektor finansial dan sosial-politik. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas stabilitas ekonomi, Bank Indonesia (BI) menghadapi tantangan dalam mengendalikan inflasi dan konsekuensi keruntuhan sistem perbankan yang mengancam integritas ekonomi negara.
Untuk mengatasi masalah, pemerintah Indonesia meluncurkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini memberikan Bank Indonesia kebebasan penuh untuk menjalankan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas nilai rupiah dan mengendalikan inflasi. Upaya untuk mencegah inflasi dan devaluasi mata uang, yang dapat memperburuk perekonomian, dihasilkan dari fokus utama pada stabilitas harga ini. Namun, sejarah krisis moneter telah menunjukkan bahwa mempertahankan stabilitas harga saja tidak cukup untuk mencegah krisis finansial yang sistemik. Sebagai contoh, kurangnya pengawasan sektor keuangan yang bergejolak menyebabkan banyak bank bangkrut. Ini terjadi meskipun kebijakan moneter BI ketat untuk menahan inflasi.
Setelah krisis finansial internasional tahun 2008, mandat ganda Bank Indonesia mulai dianggap sebagai solusi untuk memperkuat ekonomi Indonesia. Konsep mandat ganda menunjukkan bahwa Bank Indonesia harus melakukan dua tugas penting: menjaga stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan. Meskipun mandat ganda ini tidak tercantum secara eksplisit dalam UU Bank Indonesia yang pertama, mereka menjadi komponen penting dari kebijakan pengelolaan ekonomi Indonesia setelah krisis. Kemampuan Bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih erat dengan kebijakan makroprudensial adalah faktor utama yang berkontribusi pada keberhasilan Indonesia dalam mengatasi guncangan ekonomi global setelah 2008. Contohnya adalah penerapan kebijakan seperti penetapan rasio Loan to Value (LTV), Giro Wajib Minimum (GWM), dan pembentukan lembaga seperti Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang bertanggung jawab untuk memastikan kestabilan sistem perbankan.
Lebih lanjut, revisi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia memberi Bank Indonesia lebih banyak wewenang untuk menjaga stabilitas moneter dan mendukung stabilitas sektor keuangan. Untuk mencegah kegagalan sistemik seperti yang terjadi pada tahun 1998, UU terbaru memperkuat pengawasan terhadap sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah diterapkan sejak krisis 1998 telah membuat Bank Indonesia mampu menghindari krisis finansial besar bahkan pada tahun 2008. Pada akhirnya, krisis moneter tahun 1998 memicu transformasi besar dalam bagaimana Indonesia mengelola ekonominya. Bank Indonesia memiliki peran yang lebih kuat dalam menjaga stabilitas ekonomi melalui kebijakan integratif dan preventif setelah reformasi UU Bank Indonesia. Bank Indonesia kini memiliki landasan yang lebih kuat untuk mengelola tantangan ekonomi global dan menjaga ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis di masa depan, berkat mandat ganda yang melibatkan pengendalian inflasi dan pengawasan terhadap sistem keuangan. Oleh karena itu, bencana ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 berkontribusi pada peningkatan peran Bank Indonesia yang lebih komprehensif dan responsif terhadap perubahan dunia, meskipun mandat ganda tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang awal.