Covid-19 membuat semua aktivitas harus dilakukan secara daring, mulai dari perkuliahaan hingga pekerjaan. Akhirnya, perempuan menanggung beban ganda. Belenggu patriarki membuat perempuan diwajibkan mengurus anak dan jika memiliki karir, perempuan juga tetap harus work from home. Namun, tidak pada laki-laki, mereka hanya dibebankan untuk bekerja, sedangkan urusan rumah tangga dibebankan kepada istri.
Perempuan sebagai kelompok marginal tidak memperoleh keadilan. Bagaimana bisa memperoleh keadilan? Suami yang bekerja seharian tidak mendapat prasangka buruk dari tetangga sedangkan istri yang bekerja seharian mendapat banyak prasangka buruk seperti, “Dia kelihatannya sibuk sekali ya, padahal anaknya tiga, kasian sekali anaknya,” padahal istri yang bekerja seharian seharusnya mendapat pujian karena dirinya telah menanggung beban ganda akibat masih adanya patriarki hingga saat ini.
Kasus kekerasan terhadap perempuan juga meningkat di kala pandemi ini. LBH Apik mencatat 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan seksual dari tanggal 16 Maret hingga 30 Maret. 17 kasus dari 59 kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (Jakarta Pos, 2020). Di negara lain seperti India, juga melaporkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dalam minggu pertama lockdown, dan sama halnya dengan negara Prancis yang mengalami peningkatan sepertiga dalam minggu pertama lockdown. Hal ini tidak mengejutkan karena belajar dari kasus epidemi Ebola di Afrika Barat, di tahun 2015, Guinea mencatat peningkatan tajam kekerasan terhadap perempuan sebesar 4.5 persen (Reuters, 2015).
Saya melihat banyak persoalan yang dihadapi oleh laki-laki di masa pandemi Covid-19. Menurut data yang dihimpun oleh negara-negara maju, lebih banyak laki-laki yang meninggal dunia karena virus Corona ketimbang perempuan. Hal ini bukan disebabkan faktor biologis melainkan faktor sosiologis, gaya hidup yang salah. Laki-laki menurut para ahli lebih banyak yang merokok, konsumsi alkohol berlebihan serta kurang memerhatikan kesehatan. Menurut Tony Porter (Chief Executive A Call to Men), laki-laki di saat krisis malu untuk menunjukkan kelemahannya dan selalu ingin tampil superior serta tidak mau meminta pendapat pasangannya. Laki-laki bukan saja mengalami kesehatan fisik yang buruk namun juga kesehatan mental yang rapuh. Hal ini disebabkan oleh persoalan maskulinitas dan budaya patriarki yang mengokohkan eksistensi laki- laki. Ini adalah salah satu penjelasan mengapa di dalam masa krisis, laki-laki cenderung melakukan kekerasan fisik dan verbal. Hal lain, laki-laki tidak dapat menghadapi tekanan finansial sehingga membuat mereka lebih mudah marah dan agresif. Identitas kesuksesan finansial melekat pada laki-laki, mereka diukur martabatnya melalui “uang”. Karena itu, mereka malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, yang dianggap remeh-temeh, domain perempuan. Karakteristik “man box” ini sangat berbahaya bukan saja bagi diri laki-laki itu sendiri, melainkan juga bagi keluarganya, dan masyarakat yang lebih luas.
Bukan hanya pada bidang sosial, pada bidang ekonomi pun perempuan tidak memperoleh keadilan. Konsentrasi perempuan dalam ekonomi ada pada pekerjaan informal yakni pekerja domestik, pekerja paruh waktu, dan usaha kecil. Pekerjaan semacam ini lebih banyak diduduki oleh perempuan dari pada laki-laki dengan rasio 3 : 1. Lebih banyak perempuan miskin yang melakukan pekerjaan di sektor informal sebesar 80% dibandingkan 34% perempuan kelas menengah-atas (AIPEG, 2017).
Praktik menempatkan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (mana kerja yang cocok untuk perempuan dan mana kerja yang cocok untuk laki-laki), ini merupakan masalah besar. Apa yang perusahaan atau tempat kerja lakukan adalah men-genderkan pekerjaan (We gender jobs). Misalnya, perawat dan guru adalah pekerjaan yang cocok untuk perempuan sedangkan IT dan pekerja bangunan cocok untuk laki-laki. Hal ini terjadi lewat dua cara, employer selection hypothesis dan selective exit hypothesis. Yang pertama, pemilik usaha (atau hiring manager), menetapkan mana pekerjaan yang cocok untuk laki-laki dan mana pekerjaan yang cocok untuk perempuan (masculine jobs dan feminine jobs). Sedangkan yang kedua, perempuan meninggalkan pekerjaan karena menghadapi tekanan. Lingkungan kerja yang hypermasculine mengakibatkan pengalaman buruk bagi perempuan yang bersaing di dunia kerja, ditambah adanya kesenjangan gaji.
Perempuan dominan di pekerjaan caregivers, mereka menanggung beban rumah tangga, memasak, mengasuh anak, melayani suami, menjaga orang tua yang sakit, dan sebagainya. Careworkers dan caregivers tidak memiliki kemewahan berdiam di rumah seperti para CEO, pengacara, direktur, dan sebagainya yang rata-rata memiliki caregivers bahkan careworkers di rumah. Mereka yang tergolong kelas atas diuntungkan oleh sistem ekonomi yang berorientasi profit dan bukan berorientasi pada kesejahteraan rakyat kecil. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terlihat dengan gamblang dalam masa krisis saat ini. Mereka yang kaya, memiliki jabatan (atau bekerja di tempat mapan) mendapatkan pelayanan testing Covid-19 dengan cepat dan terjamin. Sedangkan mereka yang tergolong dalam careworkers dan caregivers tidak memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan fasilitas testing.
Perempuan itu hebat, laki-laki pun hebat, namun tidak selalu hebat, begitupun perempuan. Saya harap, laki-laki yang membaca artikel ini baik mereka penganut patriarki atau bukan, sadar akan berapa tidak adilnya patriarki dan dapat melihat gender dengan sudut pandang feminisme. Serta untuk perempuan, ayo kita saling dukung dan menguatkan satu sama lain. Para perempuan zaman now, berhentilah mengungkapkan persepsi buruk mengenai emak-emak, seperti “Emak-emak suka nawar,” “Emak-emak tukang ngerumpi,” “Emak-emak dasteran dan bau asem,” “Emak-emak suka ngamuk kalo Tupperware hilang”, “Emak-emak tukang nuntut,” “Emak-emak kalau naik motor suka salah kasih sein,” saya ingin meluruskan bahwa sifat ini dimiliki oleh setiap manusia, bukan hanya perempuan, tapi laki-laki juga. Beberapa dari sifat tersebut kalau kita bisa mengerti juga sebenarnya emak-emak melakukan itu untuk kebaikan anaknya, seperti menawar, mereka sebenarnya sedang berusaha dengan uang yang ada untuk menyajikan variasi makanan di rumah sehingga gizi anak bisa tercukupi, mereka pun menawar baju agar anaknya bisa memiliki pakaian yang beragam sehingga anaknya tidak malu ketika bermain bersama temannya, bahkan, mereka tak segan menawarkan hidupnya agar kamu lahir di dunia ini. Dari semua anggapan tersebut secara tidak sadar kita sudah terlalu mengerdilkan peran perempuan (dirimu sendiri) terutama ibu dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir, untuk perempuan tomboy, hilangkan misoginis kalian terhadap perempuan, karena musuh kita yang sebenarnya adalah patriarki.
Kisah Heroik Nenek 90 Tahun di Tengah Pandemi Global Virus Corona Covid-19
Tidak semua pahlawan mengenakan jubah. Begitulah sosok Suzanne Hoylaerts selayaknya dikenang. Wanita biasa berusia 90 tahun itu rela mengorbankan nyawanya demi menolong pasien Covid-19 lain yang berusia lebih muda. Seperti dilansir AS, Hoylaerts merupakan salah seorang pasien positif Covid-19 di Belgia. Wanita asal Binkom dekat Lubbeek itu dibawa putrinya ke UGD salah satu rumah sakit, Jumat 20 Maret 2020. Usia yang sudah sepuh membuatnya sulit melawan virus yang membunuh puluhan ribu orang itu.
Di Belgia sendiri, 13 ribu lebih pasien yang dinyatakan positif mengidap Covid-19. Dokter dan tim medis mulai kewalahan menangani pasien sebanyak itu. Keterbatasan alat membuat mereka terkadang bertemu pilihan sulit, seperti menentukan siapa yang harus diselamatkan terlebih dahulu. Hoylaerts sepertinya menyadari situasi ini. Karena itu, dalam pertarungan hidup dan mati, dia memilih untuk menolak alat bantu pernapasan yang akan dipasang oleh tim medis kepadanya. Dengan lembut dia berbisik,”Saya tidak mau penapasan buatan itu,” kata Hoylaerts kepada dokter yang merawatnya.
“Simpan itu, berikan kepada yang lebih muda. Saya sudah melalui kehidupan yang indah,” katanya.
“Jangan menangis, kalian sudah melakukan semua yang kalian bisa untukku,” ujarnya kepada tim medis.
Konvoi truk militer yang membawa peti mati berisi jasad korban virus corona COVID-19 dari Bergamo tiba di Ferrara, Italia, Sabtu (21/3/2020). Pemindahan ini dilakukan karena kamar jenazah Bergamo telah mencapai kapasitas maksimum. (Massimo Paolone/LaPresse via AP). Tanpa alat bantu pernapasan itu, Hoylaerts akhirnya menyerah dalam pertarungan melawan virus Corona Covid-19. Dia meninggal dunia dan dimakamkan tanpa kehadiran orang-orang terdekatnya.
Untuk keamanan, pemerintah memang melarang pihak keluarga untuk melayat dan menghadiri pemakaman pasien Covid-19. “Saya tidak bisa mengucapkan selamat tinggal dan pergi ke pemakamannya,” ujar putrinya, Judith kepada salah satu media ternama di Belgia, Het Lasste Nieuws. Sehari sebelum wafat atau Jumat dua pekan lalu (20/3/2020), Judith-lah yang mengantar ibunya ke ruang gawat darurat. Momen itu sekaligus kali terakhir bagi Judith melihat wajah ibunda tercinta. Meski merasa kehilangan, cerita yang disampaikan tim medis tentang pengorbanan ibunya membuat bangga Judith (Liputan6.com, 2020).
Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl/DkvWoitS1G28r21S8
Penulis: Rahmah Tajali Nadifa
Editor: Shelvi Aditya Oktaviani