Oleh: Nazmy Musyaffa
Bank Indonesia meluncurkan sistem pembayaran digital inovatif yang disebut QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pada tanggal 17 Agustus 2019. Dengan membuat kode QR yang dapat digunakan di berbagai platform pembayaran, inovasi ini bertujuan untuk mempermudah transaksi non-tunai. Untuk menyelesaikan transaksi, pengguna hanya perlu memindai kode QR melalui perangkat mobile. Ini membuat proses lebih cepat dan efektif. Khususnya di kalangan masyarakat umum dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), QRIS sekarang menjadi pilihan utama untuk transaksi digital di Indonesia. Penggunaan QRIS telah membantu mengembangkan ekosistem pembayaran yang lebih modern dan inklusif sebagai hasil dari kemajuan teknologi.
Tren positif terlihat dalam penggunaan QRIS. Menurut data Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), ada sekitar 2,36 miliar transaksi QRIS pada semester pertama 2024 dengan nilai total Rp249,1 triliun, peningkatan 196% dari tahun sebelumnya. Perkembangan ini menunjukkan peran penting QRIS dalam mendorong inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, QRIS telah meningkatkan efisiensi sistem keuangan, mempercepat pembayaran, dan membuka pintu bagi UMKM. Selain mengurangi ketergantungan pada uang tunai, QRIS menekan biaya operasi produksi uang dan memiliki efek positif terhadap stabilitas inflasi.
Kesuksesan QRIS dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia telah membuatnya menjadi salah satu inovasi pembayaran digital yang patut diperhatikan di seluruh dunia. QRIS memiliki keunggulan dalam menciptakan ekosistem pembayaran yang inklusif untuk UMKM dibandingkan dengan sistem pembayaran digital di negara lain, seperti Unified Payments Interface (UPI) di India atau PromptPay di Thailand. Sementara UPI India fokus pada transaksi antarbank dan PromptPay Thailand mendukung transfer berbasis identitas, QRIS telah mengintegrasikan keduanya dengan standar kode QR yang kompatibel untuk berbagai jenis transaksi, mulai dari retail hingga grosir. Dengan demikian, pelanggan di Indonesia memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk menggunakan pembayaran digital. Namun, tantangan yang dihadapi dengan QRIS berbeda dari satu negara ke negara lain. Di Thailand, kebijakan demonetisasi yang drastis mendorong adopsi pembayaran digital, sementara di India, tingkat akses internet yang lebih tinggi dan infrastruktur teknologi yang lebih luas mendorong adopsi tersebut. Sebaliknya, Indonesia menghadapi masalah digital karena perbedaan antara daerah perkotaan dan pedesaan yang tidak memiliki akses internet dan perangkat elektronik. Selain itu, tingkat literasi digital di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, meskipun penggunaan QRIS terus meningkat.
Selain itu, masih ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan saat menerapkan QRIS. Infrastruktur teknologi yang berbeda antara kota dan pedesaan merupakan kendala utama. Akses internet yang stabil dan perangkat mobile yang mendukung masih terbatas di daerah terpencil. Selain itu, memberikan pengetahuan tentang manfaat QRIS dan cara menggunakannya menjadi tantangan, terutama bagi masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi digital. Agar seluruh masyarakat dapat memanfaatkan sistem pembayaran yang lebih canggih, sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan keuangan digital ini.
Pada akhirnya, tantangan QRIS akan muncul dari persaingan teknologi dan infrastruktur. Untuk tetap relevan dengan munculnya dompet digital lintas negara dan integrasi pembayaran berbasis blockchain, QRIS harus terus berinovasi. Karena meningkatnya transaksi digital dapat membuka celah bagi tindak kejahatan siber, keamanan siber juga menjadi perhatian utama. Bank Indonesia harus bekerja sama dengan sektor swasta dan pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur digital, memberikan pendidikan publik, dan mengembangkan teknologi keamanan yang lebih canggih untuk mengatasi masalah ini.